Langit di atas pegunungan itu selalu kelabu, seolah menahan tangis yang tak pernah sampai. Malam ini, kabut turun lebih tebal dari biasanya, membungkus setiap sudut jalan setapak yang kulewati. Angin menderu seperti bisikan-bisikan halus, memanggil namaku dari balik kegelapan.
Aku berjalan sendirian, hanya ditemani senter yang cahayanya mulai redup. Setiap langkahku menggema, memantul di antara pohon-pohon pinus yang berdiri seperti penjaga suram. Suara ranting patah tiba-tiba terdengar di belakangku, tapi ketika aku menoleh, tak ada apa-apa.
Baca juga:
– Prosa Puitis “Aku Ikhlas”
Bayang-bayang ingatan mulai menghantui pikiranku. Aku tidak seharusnya membiarkannya pergi malam itu. Hujan deras, jalan licin, dan dia memohon agar aku menemaninya. Tapi aku menolak—alasanku sederhana: lelah. Hanya itu. Sebuah alasan yang kini terasa seperti belati yang menusuk jantungku setiap kali aku mengingatnya.
Dia tak pernah kembali. Tubuhnya ditemukan tiga hari kemudian di dasar jurang. Dan aku, dengan kebodohan serta egoku, adalah alasan dia pergi sendirian.
Angin bertiup lebih kencang, menggoyang dahan-dahan pohon hingga terdengar seperti tawa yang menggema. “Kau di sini…” suara itu samar, nyaris seperti ilusi. Aku menghentikan langkahku, menggenggam senter erat-erat.
“Siapa di sana?” tanyaku, tapi suaraku bergetar. Hanya hening yang menjawab, kecuali suara napasku yang terasa semakin berat.
Namun, langkah itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Aku menyorotkan cahaya senter ke segala arah, tapi kabut terlalu tebal, menelan cahaya seperti jurang yang menelan matahari.
Kemudian aku melihatnya—sesosok bayangan berdiri di kejauhan, siluetnya terlalu akrab untuk diabaikan. Itu dia. Rambutnya basah, gaunnya robek, dan matanya… kosong.
“Kenapa kau tinggalkan aku?” suaranya dingin, seperti angin yang menyelusup ke dalam tulang.
Aku mundur, tapi kakiku tersandung batu, dan aku terjatuh. Rasa sakit menyambar lututku, tapi aku tak peduli. Yang ada hanyalah rasa bersalah yang membuncah, mencengkram tenggorokanku hingga aku hampir tak bisa bernapas.
“Aku tidak bermaksud…” suaraku patah, lebih seperti gumaman yang tak jelas.
Bayangannya semakin dekat, langkahnya perlahan tapi pasti. “Kau bilang lelah, tapi kau tak tahu, aku yang menanggung semuanya sendirian…”
Aku menutup wajahku dengan tangan, berusaha mengusir sosok itu dari pikiranku. Tapi rasa dingin merayap, hingga aku merasakan sesuatu menyentuh bahuku. Ketika aku membuka mata, dia sudah di hadapanku, wajahnya pucat seperti mayat, dengan tatapan yang menusuk ke dalam jiwaku.
“Kau tak akan pernah lepas dariku,” katanya.
Dan aku tahu dia benar.
Sejak malam itu, dia tak pernah meninggalkanku. Suaranya mengisi setiap kesunyian, bayangannya ada di setiap sudut, dan rasa bersalahku adalah penjara yang tak mungkin kutinggalkan.
Karya kamu mau di post juga?
Klik disini Untuk hubungi Admin ya!
Find me :
- Facebook: ddandrn
- Instagram: ddandrn
- Twitter: ddandrn
- Youtube: ddandrn
- Channel Telegram: Prosa Indonesia
No Comments