Di bawah langit kelabu yang memeluk senja, aku melangkah menuju tanah yang sunyi. Di sana, kematian bersemayam seperti bayang bisu, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.
Langit menggulung abu senja,
tertelan dalam bayang pepohonan bisu.
Hembusan angin memeluk dingin,
mengabarkan sunyi yang merayap pelan.
Jejak langkahku melukai tanah basah,
tempat tubuh yang hilang bersemayam.
Wajahmu pudar di antara kelopak mawar layu,
matamu tertutup, membawa rahasia malam.
Kematian—penari tak kasat mata,
melingkari hati yang remuk dalam kesunyian.
Ia mencuri suaramu tanpa tanda,
meninggalkan gema tangis di lorong jiwa.
Kata-kata tak lagi bermakna,
terkubur bersama janji yang tak terpenuhi.
Hujan, air mata langit, menyentuh pipiku,
menjadi saksi kehampaan yang tak kunjung pergi.
Sebuah lilin di ujung malam redup terbakar,
bayangannya terpantul di dinding nisan.
Ada doa yang kusebut, meski tahu,
angin akan menelannya tanpa jawaban.
Di bawah kubah langit yang tak bertepi,
aku bertanya pada ketiadaan.
Apakah jiwa yang pergi merasakan,
rindu yang mengalir seperti sungai darah ini?
Sepasang burung gagak melintas pelan,
sayapnya menebarkan hitam di cakrawala.
Mereka membawa pesan yang tak kupahami,
tentang waktu yang merantai, mematikan harapan.
Di ujung perjalanan, aku berdiri,
menatap tanah yang enggan bicara.
Jika kau masih di sini, bisikkanlah,
kenapa cinta harus mati tanpa sempat pergi?
Oleh : ddandrn
Dan di ujung keheningan ini, aku berdiri sendiri, menanti jawaban yang tak pernah datang. Hanya nisan yang membisu, sementara cinta yang mati tak pernah benar-benar pergi.
Karya kamu mau di post juga?
Klik disini Untuk hubungi Admin ya!
Find me :
- Facebook: ddandrn
- Instagram: ddandrn
- Twitter: ddandrn
- Youtube: ddandrn
- Channel Telegram: Prosa Indonesia
No Comments